TAK ada pesta dalam pernikahannya. Tak pula ada orang tua, keluarga, atau kerabat yang menyaksikan momen sakral itu. Hanya ada mereka berdua: Vancy Bailley dan pasangannya.
Wanita 26 tahun yang tinggal di Belanda itu melangsungkan pernikahan dengan orang Prancis. Uniknya, mereka tak pernah bertemu secara fisik. Tapi keduanya setiap hari bertemu melalui karakter tiga dimensi dalam Second Life. Ikatan batin pun terjalin.
Second Life adalah permainan virtual yang menyambungkan setiap orang di penjuru dunia. Ini game tiga dimensi ciptaan Linden Research California pada 2003. Di bawah pimpinan Philip Rosedale, Linden Lab berusaha menciptakan dunia metaversa—tempat manusia mewakilkan karakternya di dunia kedua.
Karakter tiga dimensi itu bisa bermacam-macam. Tergantung pilihan selera. Mereka bisa berinteraksi, bermain, berbisnis, olahraga, jatuh cinta, selingkuh, atau menikah seperti yang dilakukan Bailley. Linden menciptakan sejumlah aturan, termasuk larangan berjudi yang mulai berlaku dua pekan lalu.
Bailley, misalnya, adalah gadis kelahiran Jakarta. Wanita keturunan Maluku, Cina, dan Belanda ini masih melajang dalam kehidupan aslinya. Berkelana di Second Life sejak enam bulan lalu, Bailley telah pula membeli rumah megah seluas 8.192 meter persegi di dunia kedua. Dia punya hobi berganti-ganti rambut dan baju. ”Duit saya keluar banyak di permainan ini,” kata Bailley dalam percakapan melalui Internet dengan Tempo.
Permainan ini mirip dengan game SimCity yang pernah meledak pada sekitar 1995. Tapi dunia Second Life terasa lebih nyata ketimbang SimCity. Pengunjung berinteraksi dengan orang lain melalui Internet. Mereka juga bisa berhubungan melalui tulisan, suara, atau video.
Second Life sebenarnya masih diragukan masuk kategori game. Pasalnya, permainan ini tak mempunyai misi, perolehan nilai, atau menang dan kalah. Penghuni dunia itu juga bisa terus bertahan tanpa cedera atau mati. Jadi kelangsungan Second Life itu paralel dengan dunia nyata.
Pada awal kemunculannya, Second Life tak terlalu menjadi bahan sorotan. Hingga Juli 2006, jumlah pendaftarnya hanya 1,5 juta orang. Penduduk kehidupan kedua mulai membengkak menjelang akhir 2006. Kini jumlah pendaftar mencapai 8,8 juta orang. Dalam 60 hari terakhir ada 1,6 juta orang yang masuk ke kehidupan kedua. Kebanyakan dari mereka ada di dunia itu lebih dari 18 jam seminggu.
Jumlah pendaftar membuat banyak perusahaan besar turut ”bermain”. Ada sekitar 45 korporasi multinasional membeli kaveling di Second Life. Misalnya Reebok, Adidas, IBM, General Motors, hingga Coca-Cola. Bahkan kedutaan Swedia membuka perwakilannya di dunia kedua ini. Ada juga beberapa media seperti Reuters, BBC, atau The New York Times. Bank serta anjungan tunai mandiri tersebar di beberapa wilayah kehidupan kedua.
Perusahaan-perusahaan sungguhan di atas menjadi anggota premium dan membeli tanah di dunia maya. Di sana perusahaan bisa melakukan rapat dengan cabangnya di belahan dunia lain. Jadi bisa memangkas biaya perjalanan. Kehadiran mereka juga merupakan ajang promosi. ”Yang unik dari Second Life adalah sifatnya yang melibatkan orang. Ini peluang besar,” kata ketua tim konvergensi digital IBM, Michael Rowe.
Nah, kehadiran perusahaan besar ini rupanya membuat gerah penduduk biasa di dunia kedua. Markas Reebok, misalnya, mendapat serangan nuklir bulan lalu. Beberapa perusahaan lain juga mendapat serangan serupa. Ada juga yang mendapat serangan berupa paket berupa ribuan babi. Pelakunya menamakan diri Second Life Liberation Army, yang terbentuk pada April 2006. Tentu saja serangan itu hanya efek visual. Terjadi kerusakan sesaat tapi markas Reebok masih tetap berdiri. Tatkala Tempo berkunjung ke dunia kedua, bekas ledakan nuklir di markas itu sudah tak terlihat.
Kunjungan virtual ke belahan bumi maya itu bisa dengan cara gratis atau bayar. Penduduk kelas premium membayar biaya abonemen US$ 9,95 (sekitar Rp 95 ribu). Biaya ini akan bertambah untuk sewa tanah per bulan atau membeli bahan material rumah. Pada saat pendaftaran, pengunjung mendapat jatah tanah virtual 512 meter persegi.
Pendaftar berbayar akan mendapat uang 1.000 dolar Linden, mata uang resmi Second Life. Hingga pekan lalu, satu dolar Amerika sama dengan 265 dolar Linden. Dalam sehari penduduk di dunia maya bisa menghabiskan sejuta dolar Linden untuk membeli pakaian, rumah, dan perangkat lain.
Di dunia kedua, penduduk bisa memperjual-belikan rumahnya. Bisa juga menjadikan rumah itu sebagai tempat bisnis. Semua uang bisa dinikmati di dunia nyata dengan menukarkannya di World Stock Exchange atau bank yang ada di Second Life. Setiap pengunjung mempunyai akun yang bisa menyertakan nomor rekening atau kartu kredit.
Perusahaan Anshe Chung Studio menjadi raja real estate virtual. Perusahaan ini mengantarkan Ailin Graef menjadi jutawan—sungguhan. Anshe Chung adalah nama Graef di Second Life. Dia menjual rumah dengan kisaran harga 2.000 dolar Linden per unit. Aset perusahaan itu kini sudah lebih dari US$ 1 juta.
Bagi yang mendaftar gratis masih terbuka peluang mencari uang. Banyak tempat yang menawarkan dolar Linden gratis. Lokasi yang paling populer adalah HippiePay. Di sini pengunjung cukup mengisi angket yang terhubung ke Internet browser. Cara lain: berjoget di tempat yang telah disediakan. Ajojing selama 6 menit akan mendapat uang 2 dolar Linden. ”Second Life memang enak buat nyari uang,” kata Lovetemmy Offcourse, nama di dunia maya tanpa menyebut nama aslinya, kepada Tempo ketika di HippiePay.
Bagi yang ingin lebih serius mencari uang, pendaftar gratis bisa bekerja sambilan di perusahaan. Misalnya media Secondlifeherald yang mengundang setiap pengunjung menulis artikel dengan imbalan. Kalau bingung, tinggal cari saja penyedia jasa informasi lowongan kerja berbagai bidang di dunia kedua. Kemampuan yang paling dicari adalah bidang skrip desain. Perusahaan pakaian tak membutuhkan kemampuan menjahit, namun mencari pegawai yang bisa menulis skrip desain pakaian.
Second Life juga menyediakan tempat yang menarik buat sekadar jalan-jalan. Melihat kemegahan Stadion Arena milik Ajax Amsterdam. Nonton konser Liverpool Orchestra. Menjadi ranger bersama organisasi lingkungan seperti WWF, yang baru membuat bironya pekan lalu. Atau mencari gebetan di dunia virtual.
Penduduk di dunia ini tidak perlu kendaraan. Mereka mempunyai kemampuan terbang dan pindah tempat dalam sekejap atau teleport. ”Kita bisa bekerja, bermain, atau jatuh cinta,” kata juru bicara Second Life Liberation Army, Solidad Sugarbeet, kepada CNET. ”Hanya ada satu yang hilang. Kami tidak memiliki hak memilih.”
Permainan ini kurang bersahabat bagi penggemar di Indonesia. Second Life membutuhkan koneksi Internet dan spesifikasi komputer yang mumpuni. Agus Syaban, karyawan perusahaan teknologi informasi di Bandung, misalnya, sering kecewa ketika memainkan Second Life. Agus, yang menggunakan nama Aban Bonetto, berkelana di dunia kedua melalui komputer berbasis Windows, sedangkan akses Internetnya DSL. Tetap saja gambarnya patah-patah. ”Padahal permainan ini amat menarik. Bisa menghasilkan uang sungguhan tanpa mengeluarkan sepeser pun,” ucapnya.
Bagaimana hidup di dunia kedua?
* Daftar di situs www.secondlife.com. Bisa gratis atau premium. Isi formulir yang tersedia.
* Aktifkan nama melalui surat elektronik.
* Mengunduh program yang tersedia di situs. 33 megabita untuk Windows 2000/XP. 75 megabita untuk Mac OS X. 50 megabita untuk Linux i686
* Instal program di komputer
* Masukkan identitas
* Mulai menjelajahi dunia kedua
Spesifikasi minimal
PC
Koneksi Internet: Kabel atau DSL. Second Life tak bisa berfungsi dengan menggunakan koneksi dial-up, satelit, atau layanan Internet nirkabel.
Sistem operasi: Windows XP (Service Pack 2) atau Windows 2000 (Service Pack 4). Second Life tak bisa di Windows Vista.
Prosesor: 800 MHz Pentium III atau Athlon
Memori: 256 MB
Kartu Video/Grafik:nVidia GeForce 2, GeForce 4mx, atau ATI Radeon 8500, 9250.
Mac
Koneksi Internet: Kabel atau DSL
Sistem operasi: Mac OS X 10.3.9
Prosesor: 1 GHz G4
Memori: 512 MB
Kartu Video/Grafik:nVidia GeForce 2, GeForce 4mx, atau ATI Radeon 8500, 9250.
Sumber : www.tempointeraktif.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar